-->

Subscribe Us

download mars humanis fisip unhas

Resume Dialektika Kritis "Jam Malam Kampus: Pembatasan Ruang Diskusi atau Keamanan?"

Kebijakan jam malam di lingkungan kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) menjadi isu kontroversial, khususnya bagi mahasiswa Unhas itu sendiri. Kebijakan ini, yang diberlakukan sejak 2013, mengatur bahwa kegiatan mahasiswa harus berakhir sebelum pukul 18.00 WITA, kecuali mendapat izin khusus dari dekan hingga pukul 22.00 WITA. Alasannya adalah untuk menjaga keamanan dan stabilitas di area kampus. Kebijakan ini muncul akibat beberapa insiden, seperti konflik antar mahasiswa dari fakultas yang berbeda, kasus mahasiswa yang menginap di kampus, dan penemuan barang-barang terlarang seperti minuman keras di lingkungan kampus. Namun, proses perumusannya dilakukan secara top-down, tanpa melibatkan mahasiswa. Mahasiswa sebagai pihak yang terdampak langsung dari kebijakan ini tidak diberikan ruang partisipasi dalam diskusi atau pengambilan keputusan. 

Kebijakan ini menuai kritik, terutama karena pendekatan yang dianggap terburu-buru dan logika yang tidak selalu tepat. Analisis menunjukkan bahwa terdapat beberapa kesalahan logika (logical fallacies) dalam landasan kebijakan ini:

  1. False Dilemma (Dilema Palsu) - Pembuat kebijakan cenderung melihat pembatasan waktu sebagai satu-satunya cara untuk menjaga keamanan kampus. Padahal, ada solusi alternatif yang lebih efektif, seperti meningkatkan fasilitas keamanan, pemasangan CCTV, dan penambahan petugas keamanan di sekitar kampus. Pandangan yang sempit ini mengabaikan upaya-upaya preventif yang bisa lebih berdampak pada keamanan mahasiswa.

  2. Fear Appeal (Pemanfaatan Rasa Takut) - Alasan kebijakan ini sering kali dikaitkan dengan ketakutan terhadap tindakan kriminal, seperti pencurian dan kekerasan. Namun, ketakutan tersebut tidak selalu didasarkan pada data atau fakta bahwa pembatasan waktu akan mengurangi risiko kriminalitas. Kebijakan yang didorong oleh ketakutan tidak memperhitungkan apakah pendekatan tersebut efektif dalam meningkatkan keamanan atau justru membatasi kebebasan mahasiswa.

  3. Generalisasi Berlebihan - Kebijakan ini juga tampak mengadopsi praktik kampus lain, khususnya kampus-kampus di Pulau Jawa, tanpa mempertimbangkan kondisi khusus kampus yang bersangkutan. Generalisasi yang tergesa-gesa ini menyebabkan kampus memberlakukan pembatasan serupa tanpa evaluasi kontekstual. Kebijakan ini dianggap populer karena banyak kampus yang menerapkannya, padahal mungkin kurang relevan dengan keadaan dan kebutuhan di kampus tersebut.

Fenomena penerapan jam malam mencerminkan pola manajemen kampus yang dipengaruhi oleh ideologi neoliberal, di mana kampus dikelola dengan pendekatan yang lebih mengedepankan efisiensi biaya. Di bawah pengaruh pendekatan ini, kampus sebagai institusi cenderung beroperasi seperti perusahaan yang berorientasi pada penghematan biaya operasional, misalnya untuk listrik dan pendingin ruangan. Dengan membatasi aktivitas malam, kampus dapat mengurangi pengeluaran energi karena tidak perlu menyediakan penerangan atau pendingin ruangan untuk aktivitas mahasiswa.

Selain itu, pendekatan ini juga mencerminkan upaya kampus untuk mengurangi tanggung jawab dalam hal keamanan. Daripada memperkuat keamanan publik dan menjaga lingkungan kampus tetap aman, kampus mengalihkan beban tanggung jawab pada mahasiswa untuk menjaga keselamatan diri mereka sendiri. Dalam konteks ini, mahasiswa dibiarkan berjuang sendiri menghadapi risiko keamanan, sedangkan pihak kampus menghindar dari tanggung jawabnya untuk menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung kegiatan mahasiswa.

Kebijakan ini juga berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, di mana regulasi ketat membatasi ruang kebebasan mahasiswa, terutama terkait diskusi dan gerakan kritis yang sering berlangsung di malam hari. Dengan pembatasan ini, kampus tampaknya berusaha menekan gerakan-gerakan mahasiswa yang dianggap dapat mengancam stabilitas institusi. Mahasiswa yang sebelumnya memiliki kesempatan berdiskusi dan berorganisasi di luar jam perkuliahan kini tidak lagi memiliki kebebasan yang sama untuk mengekspresikan diri mereka secara terbuka.

Meskipun niat awal kebijakan ini mungkin bertujuan untuk melindungi mahasiswa, penerapannya tampak lebih mencerminkan pendekatan neoliberal yang lebih berorientasi pada efisiensi biaya ketimbang menciptakan ruang yang mendorong kreativitas, diskusi, dan kebebasan bagi mahasiswa. Hal ini menunjukkan adanya prioritas kampus yang lebih condong pada pembatasan biaya operasional daripada memenuhi tanggung jawabnya dalam menciptakan ruang yang aman dan mendukung bagi mahasiswa.

Untuk mencapai keseimbangan antara keamanan dan kebebasan mahasiswa, perlu adanya dialog yang lebih terbuka dan inklusif antara pihak kampus dan mahasiswa. Proses perumusan kebijakan keamanan sebaiknya melibatkan semua pihak terkait agar keputusan yang diambil lebih mencerminkan kebutuhan bersama. Dengan membuka ruang diskusi dan mencari alternatif yang lebih efektif, kampus dapat menciptakan kebijakan yang tidak hanya mengedepankan keamanan tetapi juga menghargai kebebasan dan hak mahasiswa dalam beraktivitas di lingkungan kampus.