Resume Dialektika Kritis: Pemilu 2024: Kampanye Kampus, Wajarkah?
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi sorotan utama dalam konteks kampanye kampus di Indonesia. Kampanye, sebuah elemen integral dalam proses demokrasi, merupakan wadah bagi calon-calon untuk berinteraksi dengan pemilih potensial dan menyampaikan visi serta program kerja mereka. Namun, Kampanye Kampus mengundang sejumlah kontroversi. Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2017 memberikan pedoman terkait jenis-jenis kampanye yang dapat dilakukan, seperti pertemuan terbatas, debat, rapat, dan pemasangan atribut. Meskipun demikian, pertanyaan mendasar muncul: Apakah kampanye di kampus wajar dilakukan?
Pertimbangan utama terkait kampanye di kampus melibatkan pertanyaan tentang keadilan dan keberagaman dalam proses demokrasi. Menurut UU, debat menjadi satu-satunya bentuk kampanye yang diizinkan di lingkungan kampus. Namun, pertanyaannya adalah sejauh mana debat ini dapat menggambarkan keberagaman ideologi dan nilai-nilai di kalangan calon. Ada kekhawatiran bahwa jika petinggi kampus hanya memperkenalkan calon dari satu pihak dan mengabaikan calon lainnya, hal ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dan memecah belah mahasiswa, yang pada gilirannya merusak iklim netralitas kampus.
Selain itu, ada argumen bahwa lembaga pendidikan seharusnya tidak terlibat secara langsung dalam dinamika politik. Fokus seharusnya lebih ditekankan pada pendidikan politik yang mendalam dan obyektif, daripada pada kampanye politik yang memungkinkan intervensi politik di lembaga pendidikan tersebut. Kampanye di kampus juga menghadapi tantangan ketika melibatkan publik figur yang memasuki ranah kampus. Meskipun tidak semua tindakan mereka dapat disebut sebagai kampanye, ada risiko bahwa kehadiran mereka dapat menciptakan tekanan pada mahasiswa untuk memilih calon tertentu.
Dalam menyikapi kontroversi ini, penting untuk mempertimbangkan tujuan sejati dari kampanye kampus. Jika tujuannya adalah memberikan pendidikan politik kepada pemilih pemula, pendekatan edukatif yang netral dan inklusif mungkin lebih efektif daripada kampanye politik langsung. Selain itu, melibatkan mahasiswa dalam diskusi yang membangun dan edukatif tentang politik dapat membantu menciptakan pemilih yang cerdas dan kritis, yang mampu membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan obyektif.
Dalam rangka menjaga integritas dan netralitas lembaga pendidikan, serta memastikan keadilan dan keberagaman dalam proses demokrasi, mungkin bijaksana untuk mempertimbangkan pengurangan atau penghilangan kampanye politik langsung di lingkungan kampus. Sebaliknya, upaya lebih besar dapat difokuskan pada meningkatkan pemahaman politik melalui pendekatan edukatif yang mendalam dan obyektif. Dengan demikian, pendidikan politik yang berkualitas dapat menjadi landasan kuat bagi generasi penerus dalam memahami dan berpartisipasi dalam proses demokrasi di masa depan.