PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS “PAULO FREIRE”
Oleh: Departemen Advokasi dan Pengabdian Masyarakat
Paulo Freire lahir pada 19 September
1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian timur
laut Negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang
terbelakang dan identik dengan kemiskinan. Sejak kecil Paulo Freire sudah
terbiasa hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”, dan berkat
perkumpulan sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum-kaum tertindas” maka
terciptalah sebuah buku yang berjudul “Pedagogy of the Oppressed” atau
kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
“Pendidikan Kaum Tertindas”. Buku ini diciptakan sebagai salah satu
refleksi kritis untuk mencapai humanisasi dimana suatu tatanan yang ada dapat
memanusiakan manusia dalam arti sepenuhnya.
Buku karya Paulo Freire menjelaskan bahwa rendah
diri adalah sikap utama yang membuat kaum tertindas semakin tenggelam dalam
kubangan penindasan. Dalam pandangan kaum tertindas, mereka menganggap dirinya
sebagai “benda” yang artinya dimiliki oleh kaum penindas. Mereka seringkali
mendengarkan bahwa mereka sebenarnya tidak berguna, tidak tahu apapun, malas
dan tidak produktif yang akhirnya menjadikan mereka benar-benar percaya akan
ketidakberdayaannya. Hampir tidak pernah mereka menyadari bahwa mereka
sebenarnya mengetahui sesuatu.
Dewasa
ini, kita telah mengetahui bersama bahwa humanisasi merupakan fitrah manusia,
dan fitrah inilah yang sering terlupakan dan dengan sengaja ditiadakan. Hal ini
cukup disayangkan karena dengan humanisasi justru menjadi wadah untuk segala bentuk
perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan, dan kekejaman kaum penindas yang
nantinya memunculkan perjuangan para kaum tertindas untuk menemukan kembali
harkat kemanusiaan mereka yang hilang. Perlakuan tidak manusiawi dari kaum
penindas akan mendorong para kaum tertindas untuk bertindak dalam perjuangan
melawan penindasan.
Masalah
utamanya adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi yang tidak membuat pola
sesat ini terulang untuk sekian kalinya, dimana kaum tertindas yang nantinya
bebas dari penindasan malah berbalik menjadi penindas. Menurut pandangan Paulo
Freire, kaum tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas, tetapi memulihkan
kembali humanisasi antara kaum penindas dan tertindas.
Paulo Freire mengatakan dalam bukunya, “pendidikan
yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti
pendidikan dengan “sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang
gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima,
mencacat, dan menyimpan”. Guru
merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid,
sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan
seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap
kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa
diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada.
Berangkat
dari penindasan gaya
pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire menginginkan model pendidikan yang bisa
memperbaiki model selama dianggapnya keliru. Model pendidikan yang diinginkan
oleh Paulo yaitu dalam pendidikan harusnya yang terjadi antara pendidik dengan
yang dididik adalah proses dialektika. Dengan adanya dialektika diharapkan
tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif “menabungkan” gagasannya
kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan
orang lain kepada dirinya.
Selain itu, Paulo mengajukan sebuah alternatif untuk masalah
tersebut dengan sistem yang ia sebut dengan "pendidikan hadap
masalah". Disini guru dan murid bersama menjadi subjek dan disatukan oleh
obyek yang sama. Tidak ada lagi yg memikirkan dan yang tinggal menerima/menelan
materi saja, tetapi mereka (guru dan murid) berpikir bersama-sama. Dalam sistem
ini pula guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya
pikir kritis para murid.
Kesimpulan
dari resume diatas, dapat dikatakan bahwa dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas
pemikiran Paulo mengenai pendidikan yang terjadi menurut pengamatannya adalah
pendidikan yang menindas, dimana pendidik dalam hal ini guru bertindak layaknya
seorang penindas. Murid pun secara sadar menjadikan dirinya sebagai orang yang
tertindas. Semua itu tidak lepas dari lingkaran sesat yang awalnya telah
dimulai dan agaknya sulit untuk diputus, dimana orang-orang yang dulunya
tertindas akan berbalik menjadi penindas, bukannya mengubah kontradiksi yang
terjadi, tetapi malah melestarikannya.
Pendidikan dengan konsep ”BANK”, agaknya benar-benar sebuah realita yang
terjadi dalam wajah pendidikan dunia. Dimana murid dijadikannya sebagai bejana
untuk wadah penyimpanan, guru disini bertindak seperti penabung dan murid
merupakan celengnnya. Semakin penuh celengan, maka guru akan semakin senang.
Bukan itu intisari dari sebuah pendidikan, guru seakan tahu segala hal dan
murid layaknya kerbau yang dicocok hidungnya, yang dengan patuh mengikuti
instruksi guru yang terkesan ”menindas”.
Hubungan guru murid harusnya adalah interaksi pembelajaran, bukan
sekadar penyampaian bahan ajar. Guru dalam pendidikan harusnya tidak memandang
muridnya bodoh, akan tetapi memandang muridnya sebagai subjek yang sadar.
Dengan begitu guru dapat mendorong tumbuhnya rasa ingin tahu pada murid, yang
akan berakibat pada iklim belajar yang kondusif serta efektif untuk murid dalam
mengembangkan pikirannya. Guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru,
guru-murid secara berdampingan bersama. Itulah pendidikan ala Paulo Freire.
Salam Biru Langit
Kejayaan dalam Kebersamaan