Pembunuhan di Sigi: Terorisme atau Isu SARA?
Tragedi kemanusiaan kembali mengguncang tanah air. Hari Jum’at tanggal 27 November 2020, telah terjadi pembunuhan satu keluarga oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT)yang berjumlah sekitar 10 orang di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah tepatnya di Desa Lemban Tongoa. Peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 10.00 WITA. Keempat anggota keluarga yang dibunuh yaitu pasangan suami istri (pasutri) pemilik rumah, seorang anak perempuan, dan seorang menantu. Pada saat kejadian, warga yang berada di sekitar rumah korban lari menyelamatkan diri ke arah hutan. Pihak kepolisian telah melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan mengevakuasi jenazah keempat korban. Sebanyak 150 kepala keluarga di Desa Lemban Tongoa diungsikan ke lokasi lainsampai kondisi di sekitar kejadian benar-benar aman.
Selain melakukan pembantaian, kelompok Mujahidin Indonesia Timur juga membakar tujuh rumah warga. Menurut keterangan dari Kapolres setempat, pelaku awalnya meminta bahan makanan kepada korban, namun permintaan tersebut ditolak. Kemudian kelompok tersebut berang dan membantai keempat korban. Salah satu anggota keluarga yang merupakan anak dari pemilik rumah berhasil melarikan diri dan melaporkan kejadian di desa terdekat. Ia menjadi saksi kunci dari peristiwa tersebut karena mengaku melihat sendiri pembunuhan keluarganya. Dari 10 pelaku pembunuhan, 3 di antaranya membawa senjata api. Pemimpin dari MIT yaitu Ali Kalora diyakini oleh saksi terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Terorisme bukan sebuah hal baru di Indonesia. Terorisme sejak lama menjadi masalah yang tak kunjung berakhir dan tak kunjung diberantas oleh pemerintah secara total. Bukan tanpa alasan, kelompok-kelompok teroris tersebut merekrut anggota baru untuk melanjutkan “dakwah” yang dilakukan secara persuasif bahkan represif. Kelompok teroris biasanya mendoktrin orang-orang berkedok agama agar mau bergabung ke dalam kelompoknya. Selain itu, anggota yang direkrut juga berasal dari orang-orang yang ditawan dan dipaksa mengikuti segala ketentuan kelompok, jika tidak nyawa mereka menjadi taruhannya. Pergerakan mereka pun kadang tak terdeteksi oleh aparat karena mereka bergerilya di daerah terpencil dan bersembunyi di kawasan pegunungan. Meskipun demikian, kelompok-kelompok teroris tersebut dapat diberantas sedikit demi sedikit, khususnya para pemimpin kelompok tersebut walaupun sisa-sisa anggotanya masih eksis.
Terorisme sangat erat kaitannya dengan agama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa segala bentuk terorisme dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang fanatis terhadap suatu agama. Berlindung di balik nama agama dengan tujuan membela merupakan dalih atas tindakan penyerangan, diskriminasi, dan pemberontakan terhadap orang atau kelompok lain yang berseberangan. Padahal hakikat dari semua agama tidak ada yang membenarkan perbuatan yang dapat merugikan manusia sesamanya, apalagi perbuatan tersebut mencelakai bahkan menghilangkan hak asasi manusia khususnya hak hidup.Pengklaiman terhadap agama yang paling benar disebabkan adanya fanatisme yang radikal dan berujung pada konflik atau perpecahan. Hal tersebut jelas bertentangan dengan kebebasan manusia dalam memeluk agama dan kepercayaan masing-masing.
Isu yang menyangkut SARA atau suku, agama, ras, dan antargolongan merupakan hal yang sangat sensitif dalam masyarakat di Indonesia. Masyarakat Indonesia memilikiheterogenitas, yaitu memiliki asal-usul dari ras yang berbeda, suku yang berbeda tiap daerah, dan tentu saja menganut agama dan kepercayaan berbeda pula. Pluralitas di Indonesia terbentuk dari sejarah yang panjang. Asal-usul bangsa terbentuk karena masuknya budaya-budaya dari luar yang tertanam kuat dari generasi ke generasi, begitu pula dari aspek biologisnya, nenek moyang bangsa berasal dari berbagai macam ras yang kemudian menghasilkan keturunan. Dari aspek agama, mayoritas agama di Indonesia menganut agama Islam meskipun agama yang pertama kali masuk di Indonesia adalah agama Hindu, namun penyebaran agama Islam yang mendominasi karena mudah diterima oleh masyarakat. Dari segi agama pula terkadang timbul masalah mengenai integrasi. Agama mayoritas memiliki kecenderungan “menguasai” segala aspek kehidupan bernegara, baik secara politis, sosial, budaya, hukum, dan lainnya. Maka tak heran, kadang muncul konflik karena perbedaan keyakinan, di satu sisi ada yang ingin mendominasi, di sisi lainnya ada yang merasa ter-diskreditkan.
Ketidakpuasan terhadap realitas kadang dirasakan oleh golongan minoritas. Ketidakpuasan terhadap ketimpangan dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Parahnya, muncul stereotip bahwa kebebasan golongan minoritas tersebut dibatasi dan hak mereka tak diberi secara maksimal. Selain itu, intervensi keagamaan kerap terjadi oleh golongan mayoritasyang menyebabkan kondisi intoleran dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya kondisi tersebut berakibat pada golongan mayoritas yang dikambinghitamkan sehingga konsekuensi yang terjadi adalah konflik sektarian. Hal ini sangatlah berpotensi merambat ke aspek yang lain, khususnya aspek kemanusiaan.
Konflik sektarian merupakan luka lama yang pernah terjadi di Indonesia. Indonesia dengan keberagamannya ternyata bisa berakibat fatal terhadap kehidupan warganya. Kurangnya pemahaman, rendahnya sikap toleran, dogma agama yang terlalu radikal sehingga lahir interpretasi yang keliru, diperparah dengan provokasi dari oknum-oknum yang mengatasnamakan agama dengan dalih membela kepentingan agamanya menjadi faktor penyebab terjadinya konflik. Salah satu konflik sektarian di Indonesia yang sangat terkenal yaitu konflik Poso di Sulawesi Tengah pada akhir tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Konflik ini awalnya disebabkan pembunuhan warga Muslim oleh warga Kristen, namun opini masyarakat di Poso digiring oleh provokator sehingga masalah pembunuhan tersebut meluas dan merembes pada konflik agama. Tidak hanya itu, faktor yang memperkuat lainnya yaitu kondisi politik dan kondisi ekonomi saat itu yang notabenenya sedang dalam masa krisis menyusul jatuhnya Orde Baru sehingga terjadi persaingan antara masyarakat asli Poso yang mayoritas Kristen dan para pendatang yang merupakan transmigran dari luar. Akibatnya, terjadi pembantaian di penjuru daerah Poso yang sebagian besar korbannya adalah dari pihak Muslim.
Pasca konflik tersebut, kenangan masyarakat terhadap konflik tersebut masih begitu jelas di ingatan khususnya pihak Muslim. Masih ada keinginan untuk mencari keadilan dan membalaskan dendam dari pembantaian beberapa tahun silam.Muncul gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal dan membentuk sebuah kelompok pemberontak yang meneror masyarakat Poso terkhusus masyarakat Kristen. Hal itu yang melatarbelakangi lahirnya salah satu kelompok yang dicap teroris oleh negara yaitu Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang didirikan oleh Santoso alias Abu Wardah. MIT berdiri pada awal 2010 setelah Jemaah Islamiyah (JI) melakukan operasi di Poso berjuluk Proyek Uhud. Pada masa kejayaannya, anggota MIT berjumlah sekitar 40-an orang. Lebih dari 20 serangan terjadi dalam periode 2011-2016, menimbulkan puluhan korban tewas. Kebanyakan serangan tersebut menyasar aparat kepolisian dan warga yang dituduh sebagai mata-mata Densus 88.
Meskipun pemimpin paling berpengaruh sekaligus pendiri MIT yaitu Santoso telah tewas saat Operasi Tinombala tahun 2016, aksi-aksi teror yang dilakukan MIT masih tetap ada walaupun tidak seintens dan sebrutal pada awal berdirinya. Namun pada akhir November 2020, kelompok teroris MIT kembali menunjukkan eksistensinya setelah melakukan pembunuhan terhadap satu keluarga Kristen di desa Lemban Tongoa, Kabupaten Sigi. Pembunuhan tersebut terjadi akibat “ketidaksengajaan”, karena niat awal dari beberapa anggota kelompok teroris tersebut untuk meminta bahan makanan kepada korban, namun ditolak. Akhirnya anggota keluarga yang berada di dalam rumah tersebut dibunuh dengan cara dipenggal dan beberapa rumah di sekitaran rumah korban dibakar. Salah satu rumah yang dibakar merupakan rumah yang biasa digunakan sebagai tempat pelayanan umat Nasrani.
Tak bisa dipungkiri bahwa aksi kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur tak hanya sekadar menyerang, membunuh, dan meneror masyarakat sekitar namun ada misi terselubung yang berusaha dicapai oleh kelompok teroris itu. Mereka berusaha mengembalikan kejayaan MIT seperti awal didirikan di bawah pimpinan Santoso dengan merekrut banyak orang melalui pendoktrinan dan pemaksaan. Radikalisme yang telah tertanam kuat pada kelompok tersebut membuat agama Islam dijadikan alat untuk bebas mendiskreditkan agama lain khususnya agama Kristen, dengan berbagai pelanggaran HAM. Dendam masa lalu bagaikan sebuah utang yang harus dibayar lunas, nyawa berbalas nyawa, penderitaan berbalas penderitaan. Toh, sejarah tentu tak bisa diulang kembali dan seharusnya dilupakan, yang terpenting bahwa apa yang telah terjadi meskipun merugikan pihak satu sebisa mungkin diperbaiki dengan sikap toleransi sesama umat manusia terlepas keyakinan dan agama yang dipeluk. Agama tak pernah mengajarkan adanya permusuhan apalagi sampai saling membunuh satu sama lain, melainkan agama adalah pedoman agar manusia dapat hidup damai sesamanya dan tetap hidup berdampingan.