Benarkah Bangsa Kita Mengidap Gejala “Kemerdekaan Semu”? (Oleh: AWS)
Agustus merupakan bulan dimana Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya, setelah terjajah oleh kolonial selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya. Dalam proses proklamasi banyak dinamika yang terjadi diawali dengan menyerahnya Jepang terhadap sekutu kemudian peristiwa Rengasdengklok dimana golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, yang kemudian terjadi penculikan Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok hingga akhirnya merancang serta membacakan teks proklamasi tepatnya tanggal 17 Agusutus 1945 di kediaman Soekarno di jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Hal itu sekaligus menjadi tonggak sejarah dimulainya kemerdekaan yang diperingati setiap tahun, tetapi apakah setelah bangsa ini merdeka kita sudah tidak terjajah lagi? Tentu saja kita masih terjajah tetapi bukan cara klasik seperti invansi militer, melaikan cara yang baru seperti pemberian hutang luar negeri, investasi, kontrak karya pertambangan yang monopolis dan licik serta korupsi yang merajalela. Kita harus ingat sebuah kutipan dari Presiden pertama Ir. Soekarno “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”.
Jika kita kembali menelaah apa yang terjadi sekarang ini, kata-kata Soekarno kemungkinan besar memang benar adanya. Kemerdekaan melawan penjajah memang telah usai, namun keadilan belum sepenuhnya kita miliki. Tak sedikit yang masih egois memikirkan kepentingan diri semata di atas kepentingan masyarakat banyak. Celakanya lagi jika kita hanya memandang rakyat jelata di atas empuknya kursi kekuasaan. Wajar jika kemiskinan di negeri ini tidak sembuh jua. Bagaimana akan sembuh, mulai ujung kepala hingga ujung kaki, semuanya sudah dikuasai asing. Semua ini terjadi karena pengkhianatan mayoritas pejabat negara. Merekalah yang menyerahkan kunci-kunci harta benda negara ke tangan asing. Bagaimana rakyat Indonesia akan selamat dengan keadaan seperti ini? Itu masalah di tingkat pemerintahan, lalu bagaimana dengan tingkat masyarakat yang lain? Perjuangan yang dilakukan bukanlah untuk melawan masyarakat atau penduduk Indonesia. Namun untuk merangkul dan mengajak setiap pihak bekerja sama membangun negeri ini. Meski begitu, perjuangan ini juga tidak sesederhana kelihatannya. Masyarakat belum dapat terhindar dari hasutan provokasi tanpa memeriksa lebih jauh fakta yang sebenarnya. Setiap berita atau isu yang ada di berbagai media langsung “ditelan” sebagai fakta tanpa menganalisanya terlebih dahulu. Tidak cuma itu saja, kebanyakan dari kita masih memiliki mental penghujat. Sulit memberikan kritik dengan cara yang baik dan memberikan kontribusi untuk membantu lancarnya pemerintahan dan pembangunan negeri ini. Dahulu di masa penjajahan, seluruh rakyat bersatu karena mereka memiliki musuh yang sama, yaitu para penjajah. Sekarang, kita harus berjuang melawan saudara sendiri untuk memajukan negara kita. Tidak perlu memikirkan era revolusi industri 4.0 jika kita masih berkutat pada masalah 0.4 dimana bacaan dibatasi, buku-buku disita, perpecahan karena agama, kampus yang fasis serta otoriter tidak akan membuat kita sanggup untuk bersaing maupun survive. Akhir kata penulis ingin menyampaikan kekagumannya terhadap bangsa yang luar biasa kaya dan besar ini dengan tidak lupa untuk mengingatkan bahwa bangsa kita ini terindikasi gejala “kemerdekaan semu” sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya di atas.
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-74 semoga slogan ‘Menuju Indonesia Unggul’ bisa segera terwujud. Merdeka! Merdeka! Merdeka!