Polaritas Idealis dan Integritas Mahasiswa diambang Pragmatisme
“Panjang
Umur Pergerakan!!! Hidup Mahasiswa!!!” sorakan itu tidak asing lagi
bagi setiap lapisan masyarakat dimasa ini. Mahasiswa yang memegang visi, misi
dan tujuan yang ideal dalam membangun dan membentuk karakternya sebagai seorang manusia yang menggunakan akal pikiran
dan kaidah sebagai landasan dalam bertindak. Akan tetapi, tidak semua mahasiswa
seidealis itu. Setidaknya masih ada
diantara mereka yang masih memegang teguh komitmen dan tanggung jawabnya
sebagai mahasiswa. Sehingga kedepennya akan terbentuk sosok pemimpin yang
memiliki integritas untuk meneruskan cita-cita negeri ini.
Pergerakan
pada masa orde baru yang frontal dan berani menjadi cerminan kekuatan
mahasiswa. Masa dimana semua orang hanya bisa diam dan mengangguk dengan
kebijakan pemerintah. Hak warga negara untuk berpendapat, kesejahteraan dan
keadilan di rampas oleh rizim yang secara otoriter memerintah. Namun, mahasiswa
yang masih dapat berfikir secara jernih, secara sadar melakukan pergerakan
untuk mengambil kembali hak warga negara yang telah dirampas. Mereka tidak
diam, diam terpaku untuk mengalah pada keadaan yang genting dan mereka tidak
sekedar mengangguk menyetujui kebijakan pemerintah yang semena-mena. Mereka
terus berjuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang didambakan.
Bukan hal
mudah untuk memperjuangkan nasib negeri ini. Tidak cukup dengan tenaga
masyarakat, butuh perjuangan mahasiswa, mahasiswa yang tanpa perpecahan dan
perselisihan. Disinilah kepemimpinan mahasiswa dilatih, dikembangkan dan
dipraktekkan. Kampus yang menjadi habitat mahasiswa sebagai laboratorium untuk
mengembangkan dan mempraktekkan soft skill yang tidak didapat dibangku kuliah
dan itulah fungsi organisasi sebagai medianya. Kepemimpinan yang selaras dengan
keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing mahasiswa menjadi modal awal untuk
menjawab tantangan yang ada. Disinilah fungsi manajemen kepemimpinan untuk
mahasiswa dalam mewujudkan masyarakat yang madani.
Namun
paradigma yang beredar dimahasiswa saat ini adalah “LULUS CEPAT, KEMUDIAN
KERJA”. Itulah yang membuat memudarnya peran dan fungsi yang melekat pada
mahasiswa saat ini. Tri dharma perguruan tinggi semakin lama semakin
terlupakan. Bukan hal yang mengherankan, faktor ekonomi dan sistem
pendidikanlah yang memaksa setiap mahasiswa membenarkan paradigma itu.
Terpuruknya perekonomian Indonesia dan peraturan-peraturan pendidikan yang
semakin mengekang membuat dan memaksa mahasiswa harus berubah orientasi.
Dari paradigma
diatas mengakibatkan mahasiswa kekinian semakin berorientasi pada pragmatis
ketimbang idealis yang terpola dan lebih menjuru kepada individualisme. Hal
tersebut mengakibatkan terpolanya perilaku-perilaku yang menyimpang dan dengan
mudah dibenarkan oleh mahasiswa. Fokus terhadap akademik dan IPK tinggi menjadi
bahan persaingan dalam hal akademik. Sehingga tidak heran pemikiran mahasiswa
mengarah kepada teori ekonomi klasik “mengorbankan modal sekecil-kecilnya untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”. Hasilnya mahasiswa menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan IPK tinggi dan beradu gengsi dengan mahasisw
setingkatnya. Lebih ironinya lagi, sering kali kita melihat aktivis yang
menyorakkan kritik pedas kepada koruptor dan kemudian mereka malah sering titip
absen dan menyontek saat ujian. Inilah fenomena yang membuat malu dan jengkel yang
menjadi bibit-bibit koruptor kedepannya.
Fenomena
lainnya yaitu, semakin kurangnya mahasiswa yang menyeimbangkan masalah akademik
dan organisasinya. Mereka yang memilih fokus untuk masalah akademik kadang lupa
akan fungsinya untuk mengabdi kepada masyarakat. Sedangkan mereka yang terlalu
fokus dengan organisasinya kadang lupa dengan masalah hak dan kewajiban mereka
untuk belajar secara formal. Mahasiswa yang study oriented lebih cenderung
tidak dapat bekerja dalam tim dan perusahaan saat ini kebanyakan mencari tenaga
kerja yang memiliki pengalaman organisasi yang baik. Selain itu, mereka yang
organization oriented malah terjerumus
pada NASAKOM (NASIB SATU KOMA), atau dengan kata lain IPK mereka rendah.
Perusahaan juga dalam mencari pekerja melihat dari segi Indeks Prestasi
Komulatifnya. Itulah pentingnya menyeimbangkan antara Organisasi dan Akademik.
Permasalahan
sebenarnya dari bangsa ini adalah krisis integritas, baik dari masyarakat,
pemerintah, swasta dan mahasiswa sendiri sebagai stakeholder. Masih jarang orang
yang memahami apa arti sebenarnya dari Integritas itu sendiri. Integritas
merupakan suatu keadaan yang membuat hati nurani yang berbicara. Karena dengan
itu, ketulusan, keikhlasan dan kejujuran yang akan berbicara dengan sendirinya.
Dengan demikian, nilai-nilai dan keputusan-keputusan akan muncul dengan
sendirinya, ego dan kepentingan kedudukan akan tersingkir dengan sendirinya.
Yang terjadi jika mahasiswa tidak dipersiapkan sejak dini adalah, mahasiswa
yang berbakat dan memiliki potensi akan dikumpulkan dan dijadikan sebagai
alat-alat politik praktis dimasa depan. Mahasiswa akan dengan mudah dikader dan
didoktrin untuk mengiyakan perilaku-perilaku menyimpang yang saat ini sering
kita saksikan dan kemudian hal itu akan tetap terjadi kedepannya. Seharusnya peran
mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control digunakan untuk
mengawasi jalannya kebijakan-kebijakan pemerintah. Posisi mahasiswa dalam
tatanan masyarakat sangat strategis yang berada pada middle class. Mahasiswa
juga diharapkan mengabdikan dirinya pada masyarakat lewat pengaplikasian
ilmunya yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama
rakyat kecil.
Problematikanya
adalah, apakah mahasiswa kekinian masih mampu mengasah idealisme dan integritas
mereka untuk membawa perubahan yang lebih baik kedepannya? Jawabannya ada pada
diri mahasiswa itu sendiri karena mahasiswalah yang harus membangun jiwa
kepemimpinan mereka dan juga mengembangkan potensi yang ada pada mereka.
Sehingga kepemimpinan, potensi, idealis dan integritas mereka bisa berjalan
beriringan. Karena ide tanpa aksi sama dengan omong kosong dan ide ditambah
aksi tapi kurang keikhlasan adalah penyelewengan. Mahasiswalah yang harus
merubah paradigmanya sendiri untuk melihat Indonesia yang lebih baik dimasa depan.
Pandangan
visioner di atas tidak terlepas dari langkah konkrit yang harus ditempuh
mahasiswa dalam mengasah kepemimpinannya untuk terjun dalam realita
keterpurukan bangsa ini. Mahasiswa harus memilih jalan sebagai pembuat solusi
ketimbang masalah. Kampus sebagai habitat mahasiswa harus menjadi laboratorium
kepemimpinan, membentuk kepribadian yang mengintegrasikan potensi intelektual,
fisikal, dan spiritual. Dispolarisasi antara akademik dan organisasi harus
diwujudkan sebagai langkah strategis. Penguasaan keilmuan harus menjadi pedoman
mahasiswa dalam mengorganisasikan pergerakannya. Akhirnya, dimanapun berada
mahasiswa harusnya menciptakan sinergisitas dengan semua elemen masyarakat yang
ada di atasnya maupun di bawah mereka agar benar-benar menjadi pemimpin yang
strategis pada masa kini, terutama masa depan bangsa.