Pelayanan Publik, Kelemahan Indonesia
Oleh: Amli Oktaenal
Salah satu fungsi pemerintahan yang
kini semakin disorot masyarakat adalah pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh instansi - instansi pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan publik.
Tuntutan akan peningkatan kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan
instansi pemerintahan kini semakin mengemuka. Persoalan yang sering dikritisi
masyarakat dan para penerima layanan adalah persepsi terhadap “kualitas”
terhadap seluruh aspek pelayanan.
Pada
prinsipnya, kualitas pelayanan publik yang baik adalah keinginan seluruh
masyarakat. Meski demikian, setiap jenis pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh instansi - instansi pemerintahan tentu mempunyai kriteria kualitas
tersendiri. Hal ini tentu terkait erat dengan atribut pada masing-masing jenis
pelayanan.
Tak
hanya masyarakat domestik saja yang mengeluhkan buruknya pelayanan publik di Indonesia,
masyarakat asing pun turut menyoroti. Banyak negara asing yang harus berpikir
panjang untuk berinvestasi, bekerjasama,
maupun datang ke Indonesia untuk sekedar berlibur. Makanya, tak heran
jika saat ini kedatangan asing ke Indonesia mengalami penurunan.
Diantara indikator pelayanan publik
yang baik, adalah sebagai berikut:
1.
Ketepatan waktu pelayanan, yang
meliputi waktu tunggu dan waktu proses.
2.
Akurasi pelayanan, yang meliputi
bebas dari kesalahan-kesalahan.
3.
Kesopanan dan keramahan dalam
memberikan pelayanan..
4.
Kemudahan mendapatkan pelayanan,
misalnya banyaknya petugas yang melayani dan banyaknya fasilitas pendukung
seperti komputer.
5.
Kenyamanan dalam memperoleh
pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang tempat pelayanan, tempat parkir,
ketersediaan informasi, dan lain-lain.
6.
Atribut pendukung pelayanan lainnya
seperti ruang tunggu ber AC, kebersihan, dan lain-lain.
Bila
kita bercermin pada ke - 6 indikator tersebut, sepertinya kualitas pelayanan
publik yang baik masih sangat jauh dari harapan. Jangankan pelayanan publik
yang berkualitas kepada negara asing, pelayanan terhadap warga negara sendiri
dinilai sangat buruk. Lambannya pelayanan juga menjadi sorotan utama. Bayangkan
saja, dibeberapa daerah hanya untuk
membuat KTP memerlukan waktu hingga beberapa minggu. Selain itu, banyak ditemui
‘pungutan’ diluar tarif resmi. Ini bukan soal ‘pungli’, tapi soal bagaimana
tegasnya penerapan peraturan dan etika birokrasi.
Tidak
ada salahnya bila kita bercermin kepada negara - negara jiran seperti
Singapura, Malaysia dan Brunei yang kemerdekaannya jauh di bawah negara kita
tetapi telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti. Seperti diketahui,
peringkat daya saing global (global competitiveness index / GCI) Indonesia
kembali turun untuk periode 2012 - 2013, yaitu berada pada posisi 50 dari 144
negara. Padahal pada periode 2011 - 2012 Indonesia berada pada peringkat 46
dari 142 negara, dan pada periode 2010 - 2011 pada peringkat 44 dari 139
negara. Ini menurut laporan World
Economic Forum (WEF). Bahkan selama tiga tahun terakhir tersebut, skor GCI
Indonesia stagnan pada angka 4,4 (skor 1 - 7). Daya saing institusi,
infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, dan kesiapan teknologi Indonesia
tercatat memiliki nilai rendah di bawah angka 4.
Buruknya
pelayanan publik di Indonesia tak serta – merta terjadi. Beberapa peraturan
perundang – undangan dianggap terlalu banyak peraturan, tumpang - tindih, dan
tidak sinkron. Ada kecenderungan setiap kementerian / lembaga memiliki aturan -
aturan sendiri. Dalam pembuatan peraturan perundang - undangan kurang maksimal
melakukan koordinasi kementerian / lembaga lain sehingga peraturan perundang -
undangan tersebut selain bertabrakan antarsektor juga dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Akibatnya dalam implementasinya menemui
berbagai kendala. Prosedur pelayanan juga menjadi masalah tersendiri. Prosedur
pelayanan publik yang terlalu kaku, berbelit-belit, biaya dan waktu tidak
jelas, serta tidak ada SOP / tidak dijalankan. Hal ini membosankan semua pihak
yang berurusan.
Penempatan
pegawai yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip “the right man in the right place” juga menjadi sumber masalah.
Banyak pegawai yang tak berkompeten untuk menduduki suatu jabatan, justru
ditempatkan begitu saja. Akibatnya,
banyak aparatur yang tidak bisa bekerja sesuai tuntutan instansi tempatnya
bekerja. Kondisi ini tentu berpengaruh pada kinerja lembaga.
Lalu,
apa yang menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut?. Menurut
penulis, penyempurnaan, sinkronisasi, penyederhanaan persyaratan, dan
konsistensi pelaksanaan peraturan perundang - undangan di bidang pelayanan publik
harus dilakukan. Mulai dari peraturan perundang - undangan tertinggi di
lingkungan pemerintah pusat sampai ke pemerintah terendah di tingkat RT.
Selanjutnya, Memperkuat komitmen dan keteladanan pimpinan di semua tingkatan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan menerapkan sistem reward dan punishmen dan meningkatkan kesejahteraan aparaturnya. Orang bijak
mengatakan, “Hubungan pimpinan dengan bawahan / masyarakat bagai tongkat dengan
bayang – bayangnya, bagaimana mungkin bayang - bayang akan lurus kalau
tongkatnya sendiri yang bengkok.”
Penerapan
sistem the right man in the right place
harus benar – benar dilakukan. Walaupun aparatur dapat ditempatkan dimana saja
tetapi hendaknya diperhatikan juga latar belakang pendidikan, minat, kemampuan,
kepribadian. Karena hal tersebut sangat menentukan karier dan kinerja lembaga
di kemudian hari. Dan yang terakhir, peran serta masyrakat dalam menjaga dan
mengawasi sistem pelayanan publik yang diterapkan agar berjalan sesuai dengan
koridor yang ditetapkan.